A. Cakupan Pengertian Anak dengan Problema Belajar
Di sekolah-sekolah umum kita menjumpai siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang cepat tanggap dalam belajar, ada siswa yang lamban dalam belajar di hampir semua mata pelajaran, ada siswa yang mengalami kesulitan belajar untuk mata pelajaran tertentu, ada siswa yang dasar potensinya sebenarnya bagus tapi prestasi belajarnya selalu rendah, dan tentu saja ada yang perkembangan belajarnya biasa-biasa saja. Menghadapi kondisi seperti itu, pada umumnya guru dalam proses belajar mengajar cenderung hanya mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan siswa rata-rata, sedangkan siswa dengan kebutuhan belajar cepat atau lamban cenderung terabaikan. Berdasarkan hasil berbagai studi , diyakini bahwa mereka inilah yang akhirnya merupakan kelompok potensial mengulang kelas atau putus sekolah belum tentu disebabkan oleh dasar potensinya yang rendah, tetapi bias juga karena factor lain. Faktor lain itu bisa timbul dari dalam diri anak, seperti kondisi fisik dan kesehatan, motivasi belajar, dan dari luar seperti kondisi sekolah, lingkungan rumah, serta masyarakat.
Dalam konteks pendidikan luar biasa, kita mengenal istilah anak berkelainan. Anak berkelainan juga merupakan salah satu kondisi yang sangat potensial menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam belajar yang dapat berdampak mengulang kelas dan putus sekolah. Anak berkelainan (exceptional children) adalah anak yang dalam hal-hal tertentu berbeda dengan anak lain pada umumnya. Perbedaan dapat terjadi pada kondisi fisik, kesehatan, kemampuan intelektual, emosional, social, gangguan persepsi, motoric dan atau neurologis, dan lain-lain. Kelainan dapat berupa kondisi di bawah rata-rata atau di atas rata-rata. Apabila kelainan ini mengakibatkan gangguan dalam fungsi sehari-hari, terutama dalam belajar, sehingga anak memerlukan layanan khusus, penyandangnya disebut Anak dengan Problema Belajar. Pengertian ini mencakup “ Anak dengan Kebutuhan Pendidikan Khusus” (children with special educational needs).
Jadi, cakupan pengertian Anak dengan Problema Belajaradalah anak yang karena satu dan lain hal secara signifikan menunjukkan kesulitan dalam mengikuti pendidikan pada umumnya, tidak mampu mengembangkan potensinya secara optimum, prestasi belajar yang dicapai berada di bawah potensinya sehingga mereka memerlukan perhatian dan pelayanan khusus untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Anak yang mengalami gangguan atau kelainan fisik tertentu dan karena kelainannya tidak menyebabkan gangguan dalam mengikuti pendidikan biasa tidak termasuk anak dengan problema belajar, demikian juga anak berbakat. Akan tetapi, jika karena kelainannya mereka mengalami kesulitan dalam penyesuaian belajar, mereka termasuk dalam kategori anak dengan problema belajar.
B. Klasifikasi Anak dengan Problema Belajar
Ada beberapa klasifikasi anak dengan problema belajar. Data Departemen Pendidikan Amerika Serikat, misalnya, mengelompokkan ABK menjadi (1) anak berkesulitan belajar, (2) gangguan wicara, (3) retardisi mental, (4) gangguan emosi, (5) gangguan fisik dan kesehatan, (6) gangguan pendengaran, (7) gangguan penglihatan, dan (8) tuna ganda (Lynch Lewis, 1988). Sementara itu, Ashman dan Elkins (1994), membagi jenis-jenis ABK menjadi (1) anak berbakat, (2)gangguan komunikasi, (3) berkesulitan belajar, (4) gangguan emosi dan perilaku, (5) gangguan penglihatan, (6) gangguan pendengaran, (7) gangguan intelektual, dan (8) gangguan fisik. Di Indonesia di antara kelompok anak dengan Kebutuhan Khusus tersebut terdapat anak luar biasa. Anak luar biasa (ALB) merupakan kelompok yang sudah jelas kedudukannya (dalam UU No. 2/1989 dan PP No. 72/1991 disebut berkelainan fisik dan atau mental dan atau perilaku). Mereka terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunlaras, dan tunaganda. Anak yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan luar biasa tidak dikategorikan sebagai anak luar biasa. Mereka diakui sebagai anak yang memerlukan perhatian khusus (UUSPN Pasal 8:2). Anak dengan problema belajar tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUSPN atau PP 72/1991 tentang Pendidika Luar Biasa.
Memperhatikan berbagai literature dan kebijakan pendidikan luar biasa di Indonesia untuk kepentingan pelayanan pendidikan khusus di sekolah umum, semua anak yang memerlukan pelayanan khusus dikategorikan sebagai anak dengan problema belajar. Jenis-jenis anak dengan problema belajar diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Siswa dengan gangguan penglihatan,
2) Siswa dengan gangguan pendengaran,
3) Siswa dengan gangguan komunikasi dan wicara,
4) Siswa dengan gangguan fisik,
5) Siswa dengan kemampuan intelektual rendah,
6) Siswa berkesulitan belajar,
7) Siswa berkecerdasan dan berbakat istimewa,
8) Siswa dengan gangguan emosi dan social,
9) Siswa autistic,
10) Siswa dengan gangguan motoric,
11) Siswa dengan gangguan penyakit kronis, dan
12) Siswa korban penyalahgunaan narkoba.
C. Faktor dan Gejala Anak dengan Problema Belajar
Ada bebrapa factor dan gejala yang tampak secara umum pada anak dengan problema belajar, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Dilihat dari Segi Faktor Penyebab
Anak mengalami problema belajar dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya sebagai berikut :
a. Factor intelektual
b. Factor kondisi fisik dan kesehatan, termasuk kondisi kelainan, dan
c. Factor social
2. Dilihat dari Gejala yang Tampak
Anak dengan problema belajar sering menampakkan gejala dan ciri-ciri perilaku tertentu, diantaranya sebagai berikut:
a. Tidak dapat mengikuti pelajaran seperti yang lain
b. Sering terlambat atau tidak mau menyelesaikan tugas
c. Menghindari tugas-tugas yang agak berat
d. Ceroboh atau kurang teliti dalam banyak hal
e. Acuh tak acuh atau masa bodoh
f. Menampakkan semangat belajar yang rendah
g. Tidak mampu berkonsentrasi, berubah-ubah
h. Perhatian terhadap suatu objek singkat
i. Suka menyendiri, sulit menyesuaikan diri
j. Murung
k. Suka memberontak, agresif, meledak-ledak dalam merespon ketidak cocokan,dan
l. Hasil belajar rendah
D. Pravelansi Anak dengan Problema Belajar
Memang belum ada studi secara khusus tentang angka prevalensi anak dengan problema belajar. Namun, jika kita gunakan prevalensi anak dengan berkesulitan belajar menurut beberapa lietratur berkisar 1%-3% (Lerner, 1981; Lovit, 1989). Di beberapa Negara industry seperti Amerika dan Eropa Barat, jumlah anak berkesulitan belajar diperkirakan mencapai 15% dari populasi anak sekolah tingkat dasar (Gaddes, 1985). Di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, prevalensi anak berkesulitan belajar diperkirakan lebih besar. Penyebabnya adalah masih cukup tinggi angka kurang gizi pada ibu hamil, bayi dan anak, angka sakit diare, angka penyakit persalinan serta infeksi susunan saraf pusat pada bayi. Gangguan atau kondisi di atas seringkali mengakibatkan terjadinya kesulitan belajar pada anak.
Balitbang Dikbud dengan menggunakan instrument khusus dalam penelitian di empat provinsi pada 1996 dan dilaporkan 1997, menemukan bahwa terdapat sekitar 10% anak mengalami kesulitan belajar menulis, 9% mengalami kesulitan belajar membaca, dan lebih dari 8% mengalami kesulitan berhitung. Di samping itu, diketahui pula bahwa 22% anak berkesulitan belajar mempunyai intelegensi tinggi, 25% sedang dan 52% kurang. Secara khusus profil dari hasil penelitian tentang siswa berkesulitan belajar tersebut adalah sebagai berikut.
Profil Siswa SD yang Berkesulitan Belajar Umum
Profil siswa berkesulitan belajar (n =696) | f | % | % dari populasi (N = 4994) |
Intelegensi tinggi (level I dan II) Intelegensi sedang (level III) Intelengensi kurang (level IV dan V) Gangguan penglihatan Gangguan pendengaran Cacat tubuh Gangguan komunikasi Gangguan gizi Gangguan emosi dan perilaku Disleksia (kesulitan membaca) Disgrafika (kesulitan menulis) Diskalkulia (kesulitan berhitung) | 142 164 339 42 14 55 216 185 230 479 500 433 | 22,0 25,4 52,6 6,0 2,0 7,9 31,0 26,6 33,0 68,8 71,8 62,2 | 2,84 3,28 6,79 0,84 0,04 1,10 4,33 3,70 4,16 9,59 10,01 8,67 |
Sumber : Balitbang Dikbud, Profil Siswa Sekolah Dasar yang memerlukan perhatian/pelayanan khusus dan yang berkesulitan belajar, laporan penelitian, 1997
Sejalan dengan temuan di atas, dari hasil diagnosis terhadap 659 pasien berkesulitan belajar di RS dr. Karyadi Semarang dalam kurun waktu tahun 1991, ditemukan 26,3% mengalami gangguan pemusatan perhatian plus Disfungsi Minimal Otak (DMO) lain, 18,6% mengalami disfasia (gangguan bahasa, disleksia (gangguan membaca) dan diskalkulia (gangguan berhitung), 11% gangguan tunggal disfasia, 10,9% disfasia dan dispraksia (gangguan gerak), 9,4% gangguan memori (ingatan) dan DMO lain, 8,7% gangguan pemusatan perhatian , 6,5% hiperaktif, 3,2% gangguan memori auditorik, dan sisanya (4,6%) gangguan lain-lain (Bambang Hartono, 1991).
SUMBER : Munawir Yusuf dkk, Pendidikan bagi anak dengan Problema Belajar, hal 6-10

0 komentar:
Posting Komentar