Ibu merupakan salah satu aktor pendidik yang utama dalam keluarga, di samping seorang bapak. Peran ibu sebagai pendidik dalam keluarga tak bisa diremehkan. Berapa banyak tokoh umat dan ‘orang besar’ yang muncul karena hasil sentuhan pendidikan seorang ibu muslimah yang bijak.
Sebagai alarm dan rambu bagi para ibu dalam mendidik anaknya, setidaknya ada dua pola pendidikan anak yang ‘salah kaprah’ tapi sudah menjamur di kalangan para orangtua dan pendidik lainnya.
Sikap keras yang menindas
Berangkat dari asumsi yang keliru, banyak para ibu dan orangtua pada umumnya agar anak mereka disiplin, langkah yang diambil adalah dengan kekerasan, keras dalam berinteraksi dan keras dalam menghukum. Dalam benak para pendidik, yang demikian akan menjadikan anak disiplin dan teratur. Ucapan kasar, terkadang juga pukulan diyakini dapat memperlihatkan kewibawaan orangtua. Dengan begitu anak akan terbius dengan wibawa sang orangtua dan tunduk patuh terhadap perintah mereka.
Dalam kondisi seperti ini, hubungan orangtua menjadi timpang-tindih antara atas dan bawah. Orangtua laksana majikan yang memiliki wewenang penuh untuk mendikte anak, memarahinya jika salah dan memberinya hukuman jika melakukan tindakan yang tidak diinginkan oleh orangtua. Anak bagaikan budak yang hanya bisa tunduk, ‘sendika dawuh’ terhadap permintaan juragannya. Dengan demikian anak telah kehilangan emas dari sakunya, usia emas pertumbuhan, kebebasan berekspresi dan bermain dengan ceria.
Orangtua yang demikian tidak sadar bahwa dalam diri anak ada gejolak pertumbuhan dan menggali potensi dini yang kelak akan jadi harta karun saat mereka menginjakkan usia dewasa. Adapun anak yang dibimbing dalam tekanan dan pukulan akan berpotensi menjadi anak yang nakal dan pembangkang ketika kelak dewasa. Karena ketidakpuasan dan bara dendam terhadap perilaku dan sikap orangtua kepadanya waktu masih kecil.
Muhammad Rasyid Dimas dalam bukunya ‘Siyasat Tarbawiyyah khati’ah’ menegasakan bahwa pola kekerasan dalam mendidik anak berbahaya bagi jiwa anak. Menjadikan anak merasa diintimidasi, dizhalimi dan ditindas akan membuat luka dalam diri anak yang akan menempel kuat dan sulit untuk menghilanginya dalam waktu cepat. Yang demikian akan menghambat proses perkembangan anak dan akan membuatnya menjadi orang yang tertutup, murung, pembangkang, dan akan mengikis rasa percaya diri anak, sehingga anak mudah putus asa, minder dan tidak memiliki semangat untuk maju.
Sikap sayang yang memanjakan
Kebalikan dari yang diatas, jika yang pertama ibu atau orangtua terlalu keras dan kasar dalam mendisiplinkan anak, pola yang kedua inipun juga berbahaya dan seringkali dijumpai dalam sebuah keluarga. Sikap ibu yang terlalu sayang dan cinta pada anaknya, sampai ia sangat memanjakan dan memberi apa saja yang anak minta. Menyayangi dan mencintai anak itu baik, tapi terlalu memanjakan anak sangatlah berbahaya.
Para pakar pendidikan anak menegaskan bahwa memanjakan anak secara berlebih adalah kesalahan besar orangtua yang akan menyebabkan jiwa anak rapuh. Muhammad Al-Hamd dalam bukunya berkata bahwa mendidik anak dengan memanjakannya akan merusak fitrah (naluri) anak, melenyapkan keistiqamahan, merusak kewibawaan dan keberanian, sehingga anak akan tumbuh dan terbiasa hidup mewah, royal, egois, dan tidak peka dengan keadaan sekitar.
Sedangkan menurut Muhammad Rasyid Dimas memanjakan anak akan menimbulkan 6 dampak buruk. Pertama, anak menjadi tidak mandiri, tidak mau melakukan sesuatu kecuali bila dibantu orang lain. Kedua, anak terus-menerus meminta perlindungan ke orangtua dan takut terlepas dari mereka. Ketiga, anak tidak memiliki kesadaran akan tanggung jawab dan tidak menghormati tanggung jawab. Keempat, anak memiliki sikap egois dan posesif. Kelima, anak kehilangan percaya diri, dan merasa selalu gagal. Keenam, anak tumbuh menjadi pribadi yang acuh tak acuh.
Demikian dua pola yang salah dan sudah menjamur di kalangan para pendidik. Adapun pendidik yang cerdas adalah yang mampu bersikap tegas dan bersikap lunak secara bervariasi sesuai keadaan dan kebutuhan si anak, bukan melulu mendidik dengan kekerasan dan bukan pula dengan kelembutan terus-menerus.
Semoga bermanfaat.
(Majalah ar-risalah edisi niswah, 104/2010)
0 komentar:
Posting Komentar