Istilah ‘ anak dengan problema belajar’ dalam tulisan ini digunakan untuk menampung berbagai pandangan, pengertian dan definisi serta klasifikasi tentang ‘anak dengan kebutuhan khusus’, termasuk di dalamnya anak berkesulitan belajar baik dalam pengertian umum maupun spesifik,serta jenis kategori lain yang menyebabkan anak mengalami problema dalam belajar.
Secara filosofis pendidikan merupakan hak asasi manusia. Sejalan dengan UUD 1945, sesungguhnya pendidikan bersifat terbuka, demokratis,tidak diskriminatif, dan menjangkau semua Negara tanpa kecuali. Dalam konteks pendidikan untuk semua anak-anak yang mengalami kelainan fisik, intelektual, social emosional, gangguan perseptual, gangguan motoric, atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan warga Negara yang memiliki hak yang sama untuk menikmati pendidikan seperti warga Negara yang lain. Untuk itu pemikiran dan realisasi kea rah upaya memenuhi kebutuhan pendidikan bagi mereka harus dilakukan.
Anak dengan problema belajar merupakan salah satu bagian dari ABK. Mereka pada umumnya dikenal sebagai anak berkesulitan belajar, anak lamban belajar, anak malas, anak bodoh, dll. Menurut para ahli, prevalensi anak-anak dengan problema belajar cukup tinggi. Ada yang memperkirakan berkisar antara 1%-3% (Lerner, 1981;lovit,1989). Di Amerika dan Eropa Barat, anak berkesulitan belajar diperkirakan mencapai 15% dari populasi anak sekolah tingkat dasar (Gadde,1985). Di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, pravelansi anak dengan problema belajar diperkirakan lebih besar. Penyebabnya adalah masih cukup tingginya angka kurang gizi pada ibu hamil, bayi dan anak, diare, penyakit persalinan, serta infeksi susunan saraf pusat pada bayi. Gangguan atau kondisi di atas sering kali mengakibatkan terjadinya kesulitan belajar. Untuk mengatasi kesulitan dan atau problema belajar yang dihadapi serta untuk emningkatkan potensi yang dimiliki, mereka memerlukan pelayanan khusus. Pelayanan khusus tidak harus dalam satuan pendidikan khusus.
Secara kuantitatif kita masih melihat angka-angka statistic yang sangat memprihatinkan. Perkembangan pendidikan luar biasa di Indonesia yang dari sisi programatik dan penganggaran berkembang cukup pesat pada tiga dasa warsa terakhir ternyata masih terlalu jauh dari mendekati angka ideal tingkat partisipasi murni pendidikan bagi ABK. Direktorat Pendidikan Luar Biasa Depdiknas memperkirakan bahwa pada tahun 2000 angka partisipasi murni pendidikan bagi ABK baru mencapai sekitar 3,7% dari populasi anak berkelainan usia sekolah.
Sementara itu, ada kecenderungan baru bahwa ke depan penyelenggaraan pendidikan bagi ABK bergerak dari model segregasi ke integrasi dan inklusi. Satuan pendidikan luar biasa yang ada (seperti TKLB, SDLB, SLTPLB, SMLB) bukan lagi merupakan jalur dan jenjang pendidikan satu-satunya bagi ABK, melainkan bagi mereka yang memang memungkinkan terbuka untuk mengikuti pendidikan secara terintegrasi di sekolah-sekolah regular. Dengan keenderungan seperti itu, diharapkan angka partisipasi murni pendidikan bagi ABK semakin mendekati harapan.
Harus disadari bahwa kurangnya pelayanan yang optimal bagi peserta didik dengan problema belajar sedikit banyak akan menurunkan prestasi belajar siswa dan menyumbang rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia dalam percaturan internasional. Sebab, prestasi siswa merupakan salah satu indicator utama yang digunakan untuk melihat kualitas pendidikan.
Data yang dihimpun oleh Pusat Pengujian Balitbang Dikbud tahun 2000 menunjukkan bahwa rata-rata NEM SD untuk beberapa mata pelajaran masih rendah, misalnya Matematika (6,02) dan IPA (6,17). Untuk SLTP jauh lebih rendah lagi, yaitu Matematika (5,2) dan IPA (4,85). Dalam Reading Literacy Study, tahun 1994, dilaporkan bahwa kemampuan membaca kelas 4 SD di Indonesia berada di urutan kedua dari bawah dari sekitar 30 negara. Sementara itu, kemampuan IPA siswa SLTP berada di urutan 33 dari 39 negara (The Third International Mathematics & Science Study – Report, 1999).
Kurangnya pelayanan pendidkan yang optimum bagi peserta didik dengan problema belajar juga akan berdampak pada tingginya angka mengulang kelas yang pada gilirannya juga berdampak pada rendahnya angka kelulusan. Sebagai contoh dapat ditunjukkan bahwa pada tahun 1998 angka kelulusan SD masih sekitar 70%. Ini berarti masih ada sekitar 30% siswa SD yang tidak mampu menyelesaikan pendidikannya pada tahun yang bersangkutan, yang nantinya akan menjadi tambahan beban bagi orang tua ,sekolah, dan pemerintah dalam rangka wajib belajar di Indonesia (Pusinfot, 1998 dan studi Kohort, 1998). Dengan memperhatikan berbagai pemikiran dan temuan lapangan sebagaimana diuraikan diatas , dipandang perlu untuk secara terus-menerus mensosialisasikan kepada masyarakat tentang anak dengan problema belajar.
...SEKIAN...

0 komentar:
Posting Komentar