Secara naluriah, baik celaan, peringatan maupun kritik akan menimbulkan perasaan tidak enak dalam hati. Memunculkan keinginan untuk membalas, membantah, mengelak, mencari kambing hitam atau patah semangat. Reaksi-reaksi semacam ini manusiawi, tapi tidak semuanya layak dituruti. Karenanya, dibutuhkan manajemen pengelolaan hati yang baik dalam menghadapi ketiga hal ini. Harapannya, output yang dihasilkan merupakan langkah yang tepat dan bermanfaat.
Jawaban Untuk Hinaan Adalah Diam
Hinaan dan celaan lahir dari rahim kebencian atau kesombongan. Benci akan membuat orang suka mencaci dan menghina. Sedang kesombongan akan menjadikan seseorang merasa lebih, selalu menatap ke bawah hingga muncullah ungkapan-ungkapan bernada merendahkan.
Bahan terbaik untuk melandasi hati menerima celaan dan hinaan adalah kesabaran. Kesabaran akan menenangkan hati hingga apapun langkah yang dipilih akan lebih mengedepankan maslahat daripada pelampiasan emosi. Siapapun tahu, menahan emosi dari cercaan bukanlah hal enteng. Tapi jika menghendaki kemashlahatan, sabar itulah jalannya. Klasik memang, tapi sabar itulah satu-satunya formula yang direkomendasikan.
Soal sikap riilnya, ada tiga pilihan reaksi yang bisa dilakukan; balas menghina, diam atau memperingati dengan halus. Pilihan pertama tentu tidak selaras dengan landasan kesabaran seperti dijelaskan di atas. Sebuah pilihan yang semestinya dijauhi karena membalas hinaan dengan hinaan hanya akan menyuburkan kebencian dan menguatkan akar permusuhan. Pilihan kedua layak dipilih karena diam akan lebih menyelamatkan hati, mengindikasikan kesabaran dan menutup kesempatan setan untuk memicu kemarahan. Dalam syair dikatakan;
إِذَا نَطَقَ السَّفِيْهُ فَلاَ تُجِبْهُ
فَخَيْرُ مِنْ اِجَابَتِهِ السُّكُوْتُ
Jika orang yang bodoh mencelamu, maka jangan kau jawab
Karena sebaik-baik jawaban baginya adalah diam
Sedang pilihan ketiga, asalkan dilakukan dengan benar, akan sesuai dengan sifat hamba ar Rahman seperti dalam ayat yang artinya,
“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqan: 63).
Terima Kasih Untuk Pengkritik
Paling tidak ada dua model kritik; kritik tajam dan keras dan kritik halus yang konstruktif. Namun kritik keras maupun halus, ditelinga penerimanya tetap saja tidak akan terdengar renyah, serenyah kriukan kripik. Itu wajar. Manusia memang lebih suka dipuji dan disanjung ketimbang ditunjukkan kesalahan dan kekurangannya. Namun begitu, setiap orang juga pasti menyadari bahwa bagaimanapun rasanya, sebenarnya ia juga tahu bahwa kritik memiliki nilai positif. Dengan kritik, seseorang mampu melihat kekurangannya secara lebih objektif karena berasal dari sudut pandang orang lain. Dengan begitu ia bisa menyadari dan menilai dengan tepat, kekurangan dan kelebihan dirinya. Kritik seperti virus pada program komputer. Dengan adanya virus, programmer jadi tahu dimana celah kelemahan (bugs) programnya. Dengan begitu ia bisa merevisi dan menjadikan programnya lebih baik dan lebih kuat.
Menghadapi kritik yang keras, ada baiknya jika penerima kritik diam dan mendinginkan hati. Menyela hanya akan membikin suasana makin panas. Kritik keras memang tidak enak didengar. Tapi dalam pandangan positif, ada sisi baik yang bisa diambil. Kritik keras seperti sengat yang menyadarkan bahwa kesalahan yang ada cukup fatal. Paling tidak dimata sang pengkritik. Sehingga objek penerima bisa lebih sadar dan tergugah. Kecuali jika ada aroma dengki yang membuat kritik tersebut hanyalah ekpresi waton suloyo, yang penting tidak setuju pada orang yang didengki. Yang seperti ini tak perlu ditanggapi.
Sedang kritik yang halus dan membangun, tidak ada ungkapan yang lebih layak diberikan selain ucapan syukur dan terima kasih. Kritik yang konstruktif adalah evaluasi paling efektif melebihi introspeksi diri.
Peringatan Harus Diindahkan
Ada interseksi makna atau saling potong arti antara ketiga hal ini. Hanya saja, indzar atau nahi mungkar sifatnya lebih spesifik pada hal-hal yang mengarah pada pelanggaran perintah atau larangan syariat. Fungsinya mirip celaan karena memang maksiat itu pantas dicela tapi juga mengandung makna kritik yang membangun karena peringatan diberikan agar yang diperingatkan sadar dan berhenti dari maksiatnya. Rasanya pun sama pahitnya dengan dua hal di atas. Lebih-lebih jika cara penyampaiannya tidak santun.
Dalam hal ini jelas tidak berlaku kamus sabar. Tidak pula membela diri atau tidak menggubris sama sekali. Peringatan atas kemaksiatan dan kesalahan adalah peringatan ilahiyah yang harus diindahkan untuk langkah taubat dan perbaikan. Di akhirat kelak, keengganan menuruti peringatan akan menjadi sesuatu yang sangat disesali, sebagaimana orang kafir yang tak pernah mengindahkan peringatan nabi.
Bukan makhluk Tuli dan Buta
Sekali lagi, kritik maupun peringatan memang tidak indah didengar. Akan tetapi jika kita mampu mengelola hati dalam menanggapinya, akan ada kebaikan yang banyak yang bisa kita dapatkan. Bahkan sebenarnya, dua hal ini adalah kebutuhan bagi kita. Sebab, pertama karena kita adalah manusia yang tak lepas dari salah, lupa dan dosa, dan kedua karena kita adalah orang mukmin yang tidak tuli, bisu dan buta (summun bukmun ‘umuyun) akan semua peringatan yang ada. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang bijaksana. Amin. Wallhua’lam bishawab.
0 komentar:
Posting Komentar