Judul diatas bukanlah untuk menafikan khilaf yang terjadi di antara para ulama. Karena pada dasarnya khilaf para ulama itu adalah sebuah keniscayaan yang mesti terjadi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menulis sebuah buku yang berjudul "Raf'ul Malam an Aimmatil A'lam" yang mana di dalamnya beliau menyebutkan perkara-perkara yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat.
Namun seiring masuknya gelombang Liberalisme ke dalam tubuh umat islam, kita melihat ada beberapa praktek liberalisme yang disandarkan kepada khilaf ulama. Yaitu fenomena mengesampingkan nash-nash syar'i dan berdalih dengan khilaf ulama untuk meninggalkan sebuah perintah agama atau mengerjakan larangan agama.
Dahulu di dalam masalah agama masyarakat mengikuti pendapat mufti mereka. Namun beberapa dekade belakangan ketika arus informasi mulai terbuka lebar, fatwa-fatwa ulama tersebar, fatwa ulama di timur dapat diketahui oleh umat yang berada di barat dan sebaliknya. Pada dasarnya hal ini tidak masalah selama masyarakat dalam memilih pendapat para ulama tetap mengandalkan kehati-hatian, karena fatwa yang mereka ambil akan berdampak pada kemaslahatan akhirat mereka.
Namun akan menjadi runyam ketika hawa nafsu dikedepankan dalam memilih fatwa para ulama. Terlebih kemudian hari muncul orang-orang yang sepertinya kemudian menukil fatwa-fatwa yang sejalan dengan hawa nafsu manusia. Pada kondisi ini maka akan terjadi penyimpangan dalam beragama.
Sebagai ilustrasi, dahulu ketika kita mengingatkan seseorang untuk melakukan shalat berjama'ah di masjid, maka mereka berangkat ke masjid, toh kalaupun tidak berangkat timbul penyesalan di dalam hati mereka karena meninggalkan shalat berjamaah.
Namun, sebagian orang hari ini ketika diajak melaksanakan shalat di masjid, mereka beralasan bahwa ini perkara khilafiyah, hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah atau fardhu kifayah, perkara ini tidak usah dibesar-besarkan, dan berbagai macam argumentasi lainnya.
Fenomena menjadi khilaf ulama sebagai alasan untuk tidak mengerjakan perintah agama (shalat berjamaah) adalah wajah liberal yang masuk ke tubuh umat Islam, padahal ulama yang berpendapat shalat berjamaah di masjid adalah sunnah muakkadah atau fardhu kifayah sepakat bahwa shalat berjamaah di masjid lebih afdhal dan mulia daripada shalat di rumah sendirian.
Sebagian muslim apabila disampaikan kepadanya perintah agama atau larangan agama yang dia tanyakan adalah apakah ada khilaf di dalamnya? Kalau ada, dia menjadikan adanya khilaf sebagai alasan untuk meninggalkan perintah atau mengerjakan larangan tersebut.
Maka mari kita lihat dengan jujur di tengah-tengah kita. Munculnya fenomena pengguguran sebagian hukum-hukum Islam atas nama khilaf ulama, menihilkan inkarul munkar dan nasehat kebaikan atas nama khilaf, meninggalkan amar makruf dan nahi munkar atas nama khilaf. Sebuah fenomena yang kadang kurang disadari.
MENCARI-CARI RUKHSHOH PARA ULAMA
Dalam sebuah ungkapan yang sangat masyhur disebutkan : "Barangsiapa mencari-cari rukhshoh para ulama maka dia akan menjadi seorang zindiq."
Imam Az-Zakarsyi berkata,"Mencari-cari rukhshoh adalah ketika seseorang memilih dari masing-masing mazhab yang mudah atau ringan baginya." (Al-Bahrul Muhith 8/381)
Kenapa para pencari rukhshoh ulama berakhir dengan zindiq. Sebagian ulama mengatakan bahwa zindiq adalah munafik, sementara sebagian lainnya mengatakan bahwa zindiq adalah orang yang tidak punya keterikatan dengan aturan agama.
Ketika seseorang mengikuti rukhshoh (baca: ketergelinciran para ulama) maka akhir dari semua itu adalah lepasnya ikatan agama satu persatu. Hal ini karena dirinya memilih pendapat ulama berdasarkan hawa nafsu. Padahal tujuan diturunkannya wahyu adalah untuk mengeluarkan manusia dari hawa nafsu.
Mari kita simak perkataan imam Al-Auza'i,"Barangsiapa yang mengambil pendapat ulama makkah tentang bolehnya melakukan nikah mut'ah, kemudian mengambil pendapat ulama kufah tentang bolehnya meminum nabidz (fermentasi kurma), kemudian mengambil pendapat ahlu Madinah tentang bolehnya nyanyian, mengambil pendapat ahlu Syam tentang maksumnya khalifah, maka dia telah mengumpulkan keburukan pada dirinya." (Siyar A'lamin Nubala 8/90 )
Alasan dia telah mengumpulkan keburukan pada dirinya karena mereka yang berpendapat bolehnya nikah mut'ah melarang meminum nabidz dan nyanyian dan menafikan sifat makshum pada khalifah. Mereka yang memperbolehkan meminum nabidz meyakini haramnya nyanyian dan nikah mut'ah. Dan begitu seterusnya. Adapun mereka yang mencari-cari rukhshoh para ulama, mereka telah menghilangkan batas-batas yang jelas dalam din ini sehingga semua larangan yang disebutkan di atas menjadi boleh lantaran mengumpulkan rukhshoh para ulama.
Mencari-cari rukhshoh para ulama dapat menghilangkan kewibawaan din ini dihadapan manusia. Sehingga manusia menyepelekan larangan-larangan Allah dan meremehkan perintah Allah dengan alasan khilaf ulama.
Mereka yang mencari-cari rukhshoh para ulama pada dasarnya sedang bermain-main dengan batasan yang telah Allah tentukan. Mirip seperti sifat Bani Israil yang mengakali syariat Allah. Ketika Allah larang mereka bekerja (menangkap ikan) di hari sabtu, mereka justru menyiasati perintah Allah tersebut.
Sama halnya dengan para pencari rukhshoh para ulama, ketika Allah dengan tegas melarang khamr, maka mereka menyiasatinya dengan khilaf ulama, ketika Allah larang mereka untuk melakukan riba, mereka siasati dengan khilaf ulama dan begitu seterusnya mereka melakukan dan mentolerir hal-hal yang haram dengan alasan khilaf ulama. Padahal khilaf ulama bukanlah dalil, terlebih tidak semua khilaf ulama itu muktabar, ada pula pendapat yang syadz yang mana khilaf tersebut tidak dianggap oleh para ulama yang muktabar.
ARGUMENTASI HAWA NAFSU DI BALIK KHILAF ULAMA
Mereka mencari-cari pelegalan hawa nafsu dengan dalil khilaf ulama, pada dasarnya mereka tidak sedang mengikuti ulama, namun mereka mengikuti hawa nafsu yang bersesuaian dengan pendapat satu atau dua ulama.
Sikap seperti ini yang disukai oleh setan, yaitu seorang yang mengikuti hawa nafsu namun seolah mendapat legitimasi "syar'i" atas hawa nafsunya. Mereka yang beragama dengan cara seperti ini bukannya tanpa dalil. Mereka juga melandaskan sikap merek pada dalil.
Diantara argumentasi mereka adalah hadits Rasulullah,"Permudahlah dan jangan mempersulit." Atau perihal Rasulullah yang apabila dihadapkan kepada dua pilihan maka beliau akan memilih yang lebih ringan dari keduanya.
Maka kita katakan bahwa memang syariat Islam berdiri di atas kemudahan, syariat Islam adalah syariat yang mudah dilaksanakan, akan tetapi kemudahan syariat Islam, kemudahan aturan Islam diikat oleh batasan-batasan yang telah digariskan oleh Allah. Kemudahan dinul Islam bukanlah disandarkan kepada hawa nafsu manusia dengan berbagai macam corak dan warnanya.
Kemudahan syariat Islam bukan berarti kamu bisa membuat syariat untuk dirimu sendiri, bukan pula kamu dibebbaskan memilih sesuai keinginan dan hawa nafsu, yang mana jika kemudahan syariat Islam disandarkan kepada keinginan dan hawa nafsu, maka hakikat ubudiyah kepada Allah akan hilang.
AL-QURAN MENYELESAIKAN PERBEDAAN PENDAPAT DI TENGAH MANUSIA
Menjadi sebuah paradoks jika seseorang meninggalkan Al-Quran atau hadits dengan menjadikan khilaf ulama sebagai dalil, padahal seharusnya Al-Quran dan haditslah yang menjadi barometer dalam menyelesaikan khilaf dan perbedaan.
Allah berfirman yang penjelasan maknanya,"Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan , dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan." (QS Al-Baqoroh :213)
Ayat di atas dengan jelas menjelaskan bahwa Allah mengutus para Nabi dan menjadikan wahyu yang ada bersama mereka sebagai instrumen untuk menyelesaikan perbedaan yang terjadi di tengah manusia. Allah menginginkan agar kita menjadikan kitabullah sebagai penengah dalam khilaf, sehingga kita berta'abbud kepada Allah dengan menjadikan wahyu sebagai acuan dalam khilaf kita.
Namun kenyataan sungguh terbalik, sebagian orang membenturkan wahyu dengan khilaf, menjadikan khilaf sebagai dalih untuk mengabaikan wahyu dan mengikuti hawa nafsu. Bukankah Allah SWT dengan tegas menyebutkan di dalam Al-Quran yang artinya," Dan apa yang kalian berselisih di dalamnya, maka putusannya (terserah) kepada Allah. " (QS Asy-Syuro: 10)
Wallahu a'lamu bissowab
0 komentar:
Posting Komentar