Syarat menjadi imam shalat perlu kita pahami, agar kita tidak bermudah-mudah ketika menjadi seorang imam. Imam Shalat merupakan posisi yang sangat mulia, karena tidak semua orang bisa dijadikan imam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiripun memberikan kriteri-kriteria khusus bagi seorang yang akan dijadikan imam.
Walaupun imam dalam shalat merupakan posisi yang mulia, akan tetapi disana ada tanggung jawab besar yang dipikulnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan :
الإِمَامُ ضَامِنٌ
“fungsi imam adalah sebagai penjamin”
Jika ia bisa memimpin sholat dengan baik, maka baginya dan para makmum pahala yang sempurna, akan tetapi jika imam ada kesalahan, maka kesalahan tersebut ditanggung oleh imam sendiri dan bagi makmum pahala yang sempurna.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan petuah :
يُصَلُّونَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ [ولهم]، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Jika para imam yang shalat dengan kalian itu benar maka pahala bagi kalian semua, akan tetapi jika mereka melakukan kesalahan, bagi kalian pahalanya, kesalahannya hanya ditanggung oleh para imam tersebut”
Oleh karena itu mengetahui apa saja syarat menjadi imam shalat merupakan sesuatu yang sangat penting, dan jangan sampai ada seorang yang bodoh, tidak tahu-menahu tentang hukum-hukum yang ada dalam sholat jama’ah kemudian maju menjadi imam.
Atau seorang yang tidak tahu tentang rukun, kewajiban dan sunnah-sunnah shalat. saat ia meninggalkan satu rukun, misalkan sujud, dia bingung apa yang harus dilakukan, maka ini juga jangan berani-berani menjadi imam, apalagi disana ada seorang yang lebih faham dengan seluk-beluk terkait imam. Tetap pilihlah seorang yang paling tahu dikalangan jamaah.
Hadits Syarat Menjadi Imam Sholat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyampaikan tentang siapa yang paling berhak menjadi imam dalam hadist riwayat Imam Muslim dengan nomer 673 dari sahabatAbu Mas’ud Al-Anshari
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً، فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ» قَالَ الْأَشَجُّ فِي رِوَايَتِهِ: مَكَانَ سِلْمًا سِنًّا،
“Dari Abu Mas’ud Al-Anshari rhadiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur : Yang paling berhak untuk menjadi imam adalah orang yang paling pintar dan paling banyak hafalan Al-Qur’annya, jika dalam hal itu sama, maka dahulukan yang paling faham dengan sunnah, jika pengetahuan sunnah (dari para kandidat imam) sama, maka dahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah, jika dalam waktu hijrah juga sama, dahulukan orang yang paling dahulu islamnya, dan janganlah seorang mengimami seorang yang memiliki kekuasaan, dan jangan seorang duduk dibangku kemulian milik seseorang kecuali dengan izinnya.” Berkata Al-Asyaj dalam suatu riwayat : kata “lebih dahulu islamnya” diganti dengan “lebih tua umurnya”.
Pada hadits ini, disebutkan dengan sangat jelas, urutan siapa saja yang paling berhak untuk menjadi imam.
Dalam hadits ini, setidaknya mengumpulkan lima kriteria atau syarat menjadi imam shalat:
- Kesempurnaan bacaan Al-Qur’an dan banyaknya hafalan
- Pengetahuan terhadap sunnah (hadits-hadits)
- Waktu Hijrah
- Waktu masuk islam
- Umur
Kita bahas yang pertama,
((Kesempurnaan bacaan Al-Qur’an dan banyaknya hafalan)), ini diambil dari sabda beliau ((أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ)). Dan para ulamamenjelaskan makna ((أَقْرَأُ)) mencakup dua hal.
Yang Pertama seorang yang paling banyak hafalannya. Sebagaimana dalam hadist.
لَمَّا قَدِمَ المُهَاجِرُونَ الأَوَّلُونَ العُصْبَةَ – مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ – قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ، وَكَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا
“diawal kedatangan kaum muhajirin di daerah usbah (sebuah daerah di Quba) sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang menjadi imam sholat adalah salim maula abu hudzaifah, dan ketika itu, dialah yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya” (Al-Bukhari Nomer 692)
Yang kedua, kata ((أَقْرَأُ)) memiliki makna, yang paling bagus bacaan dan tajwidnya. Sebagaimana dijelaskan dalam komisi fatwa saudi arabia no 19048 pertanyaan no 4, tentang makna ((أَقْرَأُ)) ini. mereka berkata :
المراد بذلك: أحسنكم تلاوة، وترتيلا للقرآن، ويراد به أيضا: أكثركم قرآنا، فمن كان أحسن تلاوة وترتيلا للقرآن وأكثر حفظا للقرآن، فهو أولى بالإمامة ممن هو أقل منه في ذلك، لا سيما إذا كان فقيها في صلاته.
“maksudnya adalah seorang yang paling bagus bacaannya, paling tartil, dan kata tersebut juga memiliki makna ‘yang paling banyak hafalannya’
jika ada seorang yang bacaannya bagus, tartil dan banyak hafalan maka ia yang paling berhak untuk menjadi imam dari selainnya, lebih-lebih lagi jika ia seorang yang faham dengan seluk-beluk shalat”
Catatan : seorang yang tartil bacaannya dan banyak hafalannya paling berhak untuk menjadi imam. Dengan catatan, bahwa dia adalah seorang yang mengerti fikih dan hukum-hukum syareat yang berkaitan dengan shalat. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari Juz 2 Hal 171.
Kemudian Yang Kedua : Pengetahuan Terhadap Sunnah
Jika kriteria pertama, banyaknya hafalan dan tartilnya bacaan dimiliki oleh banyak orang, dan harus memilih salah satunya, maka kita memilih orang yang paling tahu dengan sunnah.
Maksud dari “paling tahu terhadap sunnah”adalah orang yang paling faham dengan hukum-hukum agama, baik sholat, puasa, zakat, haji dan lainnya.
Kemudian Yang Ketiga : Waktu Hijrah
Maksudnya adalah siapakah yang lebih dahulu berpindah dari negri kafir menuju negri islam.
Dan dahulu, yang beliau maksud adalah seorang yang lebih dahulu berhijrah menuju nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih berhak menjadi imam jika mereka sama dalam dua kriteria yang pertama dan kedua.
Kemudian Yang Keempat : Waktu Islam
Jika dalam suatu daerah ada seorang yang hafalan dan bacaan Al-Qur’annya sama, begitu juga dengan ilmu fiqihnya serta waktu hijrahnya, maka didahulukan orang yang paling dahulu masuk islam.
Kemudian Yang Kelima : Umur
Jika empat kriteria diatas dimiliki oleh semua kandidat, maka didahulukan orang yang paling tua umurnya.
Faedah lain dari hadist :
Yang pertama :
وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ
“dan janganlah (seorang tamu) mengimami tuan rumah“
Maksudnya adalah seorang jika sedang bertamu pada suatu masjid, dan dia juga seorang imam dimasjid kotanya, maka tamu ini, tidak boleh maju menjadi imam, kecuali jika dipersilahkan.
Dan hadist ini juga difahami, bahwa pemimpin negara jika datang pada suatu daerah, maka ia lebih berhak menjadi imam dari pada yang lainnya.
Begitu juga, jika ada suatu udzur yang menyebabkan beberapa orang sholat berjamaan dirumah, maka yang paling berhak adalah tuan rumahnya.
Akan tetapi yang perlu dicatat dalam hal ini adalah pemimpin negara, tuan rumah, dan yang semisalnya tersebut seorang yang pantas (memiliki fiqih) untuk menjadi imam.
Yang Kedua :
Seorang muslim saat bertamu, diharamkan untuk duduk ditempat yang biasanya dikhususkan untuk pemilik rumah.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“…dan jangan seorang duduk dibangku kemulian milik seseorang kecuali dengan izinnya”
Setelah kita mengetahui siapa yang berhak menjadi imam, ada sebuah hadist yang hendaknya diperhatikan oleh seorang imam.
Hadits yang dimaksud adalah hadist Abu Hurairah rhadiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (703) dan Imam Muslim (467)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمْ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ, فَإِنَّ فِيهِمْ الصَّغِيرَ وَالْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ, فَإِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ
“Jika kalian menjadi imam, ringankanlah sholat mu, karena diantara makmu ada anak kecil, orang tua / jompo, orang lemah/sakit atau orang yang sedang dikejar waktu. Adapun jika ia sholat sendiri, silahkan memperpanjang sholatnya sesuai keinginannya.”
Para ulama mengatakan bahwa perintah dalam hadist ini tidak bermaksud wajib. Akan tetapi hanya sunnah.
Dan maksud dari meringankan sholat adalah : meringankan yang tidak sampai menghilangkan atau mengurangi kesempurnaan sholat. Dalam artian seorang imam harus tumakninah dalam gerakan dan bacaannya.
Kemudian, jika dalam jamaah itu sudah terbiasa sholat panjang, maka boleh-boleh saja imam memanjangkan bacaan dan shalatnya. Hendaknya imam, selalu melihat kondisi yang ada saat itu, apakah dia harus meringankan shalat atau memanjangkannya.
Dan jika para makmum tidak ada orang-orang yang memiliki udzur sebagaimana diatas, maka boleh-boleh saja bagi imam untuk memanjangkan shalatnya.
Kesimpulannya, seorang imam melihat keadaan kemudian memutuskan dengan bijak. Sehingga tidak membuat shalat rusak karena meninggalkan tumakninah atau hal yang semisal, juga tidak terlalu panjang sehingga para makmum menjadi bosan, dan malas sholat berjamaah.
Jadilah Imam & Makmum Yang Bijaksana
Seorang imam dituntut untuk bijaksana dalam menentukan panjang pendeknya shalat. Jangan sampai ia mengimami dengan membaca surat yang sangat panjang Al-Baqarah misalkan. Jika ini terjadi tentu masyarakat kita akan merasa berat, karena sebagian mereka sudah terbiasa membaca yang pendek, diantara mereka mungkin ada yang saat shalat hanya membaca qul (An-Naas, Al-Falaq atau Al-Ikhlas). Sehingga seorang imam sangat dituntut untuk bijak.
Sebagaimana dalam sebuah hadist Abu Hurairah rhadiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (703) dan Imam Muslim (467)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمْ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ, فَإِنَّ فِيهِمْ الصَّغِيرَ وَالْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ, فَإِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ
“Jika kalian menjadi imam, ringankanlah sholat mu, karena diantara makmum ada anak kecil, orang tua / jompo, orang lemah / sakit atau orang yang sedang dikejar waktu. Adapun jika ia sholat sendiri, silahkan memperpanjang sholatnya sesuai keinginannya”
Lalu apa yang harus dibaca oleh imam saat shalat setelah membaca Al-Fatihah. Apakah ada saran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan pemilihan surat ? apakah ada standar dalam panjang pendek nya shalat ?
Dahulu sahabat Mu’adz bin Jabal rhadiyallahu ‘anhu pernah menjadi imam, ketika itu beliau membaca surat yang sangat panjang. Sampai-sampai ada jamaahnya yang meninggalkan mu’adz rhadiyallahu ‘anhu dan meneruskan shalatnya sendiri kemudian ia salam dan pergi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengetahui hal ini sangat mengingkari perbuatan mu’adz rhadiyallahu ‘anhu dengan keras. Lalu beliau memberikan nasihat :
إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ، وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى
“(wahai muadz) jika engkau menjadi imam (setelah Al-Fatihah) bacalah surat Asy-syams, Al-A’la, Al-‘alaq, dan Al-Lail”
Artinya, dalam shalat jamaah seorang imam hendaknya tidak membaca surat yang terlalu panjang, kecuali jika jamaah telah terbiasa dan tidak menimbulkan fitnah.
Akan tetapi bagi seorang makmum juga harus mengetahui, bahwa imam boleh saja membaca surat-surat yang cukup panjang seperti At-Tur, dan dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimami dengan membaca surat At-Tur, Jubair bin Muth’im dalam hadits Al-Bukhari (765) dan Muslim (463) bercerita :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ g يَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat At-Tur dalam shalat maghribnya ”
Dan dalam riwayat hadist yang lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memanjangkan shalat dhuhur, memendekan sholat ashar, pada saat magrib beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat-surat pendek, pada sholat isya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat yang sedang, dan pada saat shubuh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat yang cukup panjang :
Berikut hadist diriwayatkan oleh Imam An-Nasai (982) dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani,
مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَحَدٍ أَشْبَهَ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فُلَانٍ – قَالَ سُلَيْمَانَ – كَانَ يُطِيلُ الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ، وَيُخَفِّفُ الْأُخْرَيَيْنِ، وَيُخَفِّفُ الْعَصْرَ، وَيَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِي الْعِشَاء بِوَسَطِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ بِطُوَلِ الْمُفَصَّلِ
“Aku tidak pernah shalat dibelakang orang yang sholatnya sama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain orang ini” (maksudnya : saat menjadi imam, orang ini mirip dengan cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam panjang pendeknya shalat)
Sulaiman (rawi hadist tersebut) berkata : “imam tersebut memanjangkan dua rakaat dhuhurnya, dan meringankan dua rakaat setelahnya, dan pada shalat ashar ia meringankan shalatnya. Saat maghrib beliau membaca surat-surat pendek, saat isya ia membaca surat yang sedang, dan saat shubuh beliau membaca surat yang cukup panjang”
Apa maksud dari surat pendek ?
Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa surat pendek ini dimulai dari surat Ad-Dhuha sampai surat terakhir, An-Nas,
Apa maksud surat sedang ?
Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa surat sedang ini dimulai dari surat Abasa hingga surat Ad-Dhuha
Apa maksud surat cukup panjang ?
Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa surat cukup panjang ini dimulai dari surat Qof hingga surat Abasa
Dari hadist ini, kita tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjangkan shalat dhuhur, meringankan shalat ashar, pada shalat maghrib beliau membaca surat pendek, tapi terkadang membaca surat yang cukup panjang, seperti At-Tur, pada shalat isya’ beliau membaca surat yang sedang, dan saat shalat shubuh beliau membaca surat yang cukup panjang.
Kenapa saat shubuh surat yang dibaca panjang ?
Syaikh Abdullah Al-Fauzan memberikan beberapa alasan diantaranya : Hal itu bermanfaat untuk menunggu jamaah yang belum bangun, agar tidak tertinggal shalat jamaah, lalu shalat shubuh adalah shalat yang hanya dua rakaat, yang ketika karena mereka sudah rilex selepas istirahat semalaman, sehingga nyaman saat mendengar bacaan Al-Qur’an, begitu juga, saat itu bacaan Al-Qur’an disaksikan oleh malaikat oleh sebab itulah shalat shubuh dinamakan Qur’anul Fajr
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”
Semoga apa yang kami bahas menambah wawasan dan membuahkan amalan, dan menjadi ilmu yang bermanfaat
Wallahu a’lam bish showab
Wallahu a’lam bish showab, semoga bermanfaat artikel syarat menjadi imam shalat berjamaah ini.
Ditulis oleh:Ustadz Ratno, Lc.
(Kontributor BimbinganIslam.com)
(Kontributor BimbinganIslam.com)
Referensi: https://bimbinganislam.com/syarat-menjadi-imam-shalat-berjamaah/
0 komentar:
Posting Komentar