Beragamnya permasalahan terkait karakter warga negara, mulai dari kenakalan siswa semisal minum – minuman keras, juga pergaulan bebas, sampai pada kenakalan “mantan” siswa masa kini pada seputaran korupsi, merupakan sebuah masalah besar yang menjadi PR kita semua sampai pada para pemimpin bangsa.
Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengawal pendidikan karakter. Karena memang penting, untuk menjamin sebuah bangsa dimana rakyatnya memiliki karakter positif. Sejak bangsa ini didirikan, setidaknya ada 11 jilid naskah kurikulum yang dijadikan panduan sistem pendidikan nasional. Perjalanan kurikulum sebagai sistem pendidikan, memiliki catatan panjang.
Yang kentara, mulai dari disusunnya Kurikulum 1947 atau saat itu disebut Rentjana Pelajaran 1947 yang lahir dikala Indonesia baru merdeka, maka pendidikan yang diajarkan lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia merdeka, berdaulat, dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini. Fokus Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pendidikan pikiran, melainkan hanya pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Kemudian dibuat lagi kurikulum kurikulum tahun 1964, kurikulum tahun 1968, 1973, 1975, 1984, 1994, 1997, 2004, 2006, Sampai akhirnya pada tahun 2013 disusun kurikulum terbaru, dengan harapan bisa menjadi penyempurna terhadap kurikulum yang pernah ada. meskipun sampai saat ini KK13 pun masih selalu ada revisi.
Ternyata sudah dirasakan oleh para negarawan tentang pentingnya pendidikan karakter bangsa. Sampai – sampai setelah 11 kali diberi “obat” yang bernama kurikulum pun belum sepenuhnya mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Di satu sisi, rasa sebagai seorang pendidik tentu tidak bisa dibohongi. Bahwa pendidikan tidak sebatas pada kurikulum, apalagi kurikulum yang tidak dibarengi dengan kesamaan visi antara sang pembuat kurikulum dengan pelaksana kurikulum. Kenyataan di lapangan bahwa perubahan kurikulum yang di dalamnya terdapat pendidikan karakter tidak secara signifikan merubah pola asuh terhadap peserta didik yang ada. Dari sini perlu kita renungkan, sebenarnya siapa yang paling berperan dalam usaha membentuk karakter siswa. Apakah kurikulum, buku pelajaran, guru, atau yang lain ?.
Kalau kita kembali pada konsep pendidikan seorang bapak pendidikan, Ki Hajar Dewantoro, dengan semboyannya :
Ing ngarsa sung tuladha
Ing madya mangun karsa
Tut wuri handayani
Yang artinya di depan memberikan contoh, di tengah membangun semangat, di belakang memberikan kekuatan.
Juga teringat pepatah arab yang kaitannya dengan memberikan keteladanan, yaitu :
“ Bagaimana mungkin bayangan itu akan lurus, jika bendanya bengkok ? “
Yang artinya bagaimana mungkin anak didik itu akan memiliki karakter lurus, dan baik, apabila karakter pendidik nya tidak lurus, dan baik..
Hal inilah yang menjadi pemikiran penulis, bahwa tentu yang berperan paling besar dalam pendidikan karakter siswa adalah sang ujung tombak pendidikan itu sendiri, atau yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, alias bapak ibu guru.
Karena tanpa disadari, peserta didik akan mengamati, belajar dari apa yang mereka lihat dari gurunya. Tidak sekedar menerima ilmu pengetahuan dari sang guru. Inilah peran guru sebagai pendidik. Tidak hanya “transfer of knowledge”/ transfer ilmu pengetahuan, tapi juga “transfer of value” / transfer nilai karakter. Karakter guru ketika di dalam kelas dan di luar kelas tentu akan dilihat dan dicontoh oleh siswa, baik dalam tutur kata, maupun sikap. Ketika guru bertindak dengan baik, maka itu yang akan menginspirasi siswa untuk melakukan hal yang sama. Paling tidak menjadikan siswa tau, bahwa yang benar adalah yang seperti guru lakukan. Sebaliknya ketika guru berperilaku yang kurang tepat, atau bahkan memperlihatkan perilaku yang belum saatnya dicontoh oleh siswa, ini juga hal yang bisa menjadi masalah. Ingat ungkapan bahwa guru adalah sosok yang digugu lan ditiru / diikuti ucapan dan perbuatannya.
Maka seyogianya seorang guru betul – betul berhati – hati dalam menjaga sikap dan perilakunya, karena setiap detik perjumpaannya dengan siswa akan direkam dan masuk dalam memori untuk dicontoh para peserta didiknya. Dan inilah yang mendasari pembentukan karakter siswa.
0 komentar:
Posting Komentar